S
|
ebenarnya nama
panggilanku adalah Adem. Entahlah, mengapa nenekku tersayang yang telah tiada
memberikan nama aneh dan langka itu kepadaku. Aku mempunyai teman yang selalu
membuat tersenyum di setiap saat. Mereka bernama Dendi, Ilham, dan Anggi. Kami
telah bersahabat cukup lama dan sangat bahagia.
Namun
dibalik semua kebahagiaan itu, kami agak kurang berbahagia saat bertemu dengan
salah satu guru di sekolah kami. Pak Cecep namanya. Ia merupakan guru Seni
Budaya sekaligus kepala sekolah. Suaranya selalu terngiang ditelinga setiap
siswa di sekolah. Semua siswa, siswi, pengajar, staff, office boy, satpam, dan tukang kebun sekolah pernah dimarahinya.
Beliau adalah sosok guru yang terlalu tegas. Tapi gak masalah kan? Dengan
begitu, siswa maupun siswi yang berada di sekolah ini akan lebih menaati
peraturan sekolah. Betul tidak?
Pak
Cecep selalu memakai peci, tapi itu hanya untuk menutupi kepalanya yang botak.
Entah mengapa, setiap waktu salat Dzuhur tiba, Pak Cecep bilang lebih suka
salat di rumah daripada berjamaah dengan guru dan murid-muridnya.
Wajah
Pak Cecep selalu terlihat berlipat-lipat dan dipenuhi keringat. Umurnya yang
lumayan cukup tua itu, semakin terlihat tua dengan menggunakan gigi palsu
karena giginya yang telah bolong-bolong. Apalagi beliau tidak pernah
menampakkan senyumannya, tetapi tidak ada yang tahu karena Pak Cecep hanya
berbicara panjang lebar ketika pelajaran di kelas saja. Selebihnya, Pak Cecep
tampak seperti orang bisu yang misterius.
***
Dendi,
anak paling malas di kelas, tetapi ia anak yang dermawan, ia selalu mentraktir
jajan saat bel istirahat berbunyi. Tapi kali ini, dia ingin mencoba mendekati
Pak Cecep. Banyak yang merasa khawatir tentang niatnya yang sedikit ekstrim.
Untungnya Pak Cecep belum mengetahuinya.
Pada
rencana pertama ini, diam-diam Dendi telah menyelipkan koleksi komik Doraemon
serta majalah kesukaan Dendi yang berisi tentang hal-hal menarik dan lucu di
laci meja Pak Cecep. Dia berharap hal itu dapat membuat Pak Cecep tertawa
terbahak-bahak saat melihatnya. Walau tidak sampai tertawa, minimal Dendi dapat
mewujudkan mimpinya yaitu membuat Pak Cecep tersenyum. Alhasil, yang terjadi
adalah Pak Cecep membuang komik serta majalah itu dan malah menjadi semakin
galak.
Hal
tersebut, tidaklah membuat aku dan kawan-kawan jera. Tetangga Pak Cecep bernama
Ilham, dia temanku, anaknya pintar meskipun kepintarannya tidak melebihi
kepintaranku. Ilham mengetahui bahwa di belakang rumah Pak Cecep terdapat kolam
ikan yang banyak sekali menampug ikan mas. Oleh karena itu, kami semua patungan
untuk membelikan beberapa kilogram ikan mas untuk mengganti semua ikan yang ada
di kolam sekolah dengan ikan mas. Katanya sih, setelah menggantikan ikan-ikan
di sekolah dengan ikan mas, Pak Cecep mengambilnya. Ya, Pak Cecep memang
membawa pulang semua ikan mas tersebut, tapi tanpa senyuman sedikit pun dan
beliau tetap saja galak.
Rencana
ketiga, Anggi ternyata mempunyai kumpulan film-film komedi yang benar-benar
mengocok perut dan menarik pipi setelah menonton. Tapi ketika diintip, ternyata
Pak Cecep tidak tertawa sama sekali. Senyum pun tidak, malah wajahnya semakin
masam. Peci yang dikenakannya sampai terjatuh dan memperlihatkan kepalanya yang
mulus. Kami mau tertawa, tapi takut ketahuan.
***
Selama
beberapa hari ini, kami makin sibuk dengan trik-triknya dalam rangka mencari
senyum Pak Cecep. Kadang kami merasa aneh, kok bisa-bisanya kami mau bersusah
payah memikirkan hal itu? Padahal kan lebih baik tidur, makan, bermain, atau
menoton tv.
“Yah, lumayan untuk jadi pengisi waktu
senggang,” batin kami menghibur diri.
Lama-kelamaan,
kami kapok juga. Masih untung Pak Cecep belum tahu siapa pelakunya. Bila tahu,
pasti kami sudah dapat hadiah dampratan yang bertubi-tubi.
***
Untuk
sementara, kami ‘cuti’ dari kegiatan sebagai ‘Sang Pencari Senyum’. Dan hari
ini, aku sedang asyik makan di tempat tidur sambil mendengarkan lagu dan
membaca majalah otomotif.
Tiba-tiba,
aku mendapatkan sebuag ide yang cukup cemerlang. Oke, ini adalah rencana
selanjutnya. Aku mampir ke rumah Pak Cecep, alasannya hanya untuk belajar
bersama mengenai pembelajaran Seni Budaya. Diam-diam, aku menyelipkan sebuah
buku kecil di memo besar milik Pak Cecep, lalu pulang.
Malamnya,
ketika Pak Cecep membuka buku memonya, beliau menemukan sebuah buku kecil yang
berjudul Panduan dan Hukum Salat.
Itulah buku yang aku selipkan.
Pak
Cecep membaca habis isi buku itu dan seminggu kemudian, Pak Cecep masuk kelas
dengan muka cerah.
“Assalamu’alaikum!” sapa Pak Cecep
sambil memasang senyum manisnya. Seluruh penghuni kelas terkejut melihat Pak
Cecep yang berubah drastis. Tak sengaja kami pun menjawab salam Pak Cecep
dengan gugup.
“Wa….Wa’alaikumussalam,” para siswa satu
kelas pun menjawab bersamaan.
“Eh,
Dem, kamu apakan Pak Cecep?” Bisik Adit, teman sebangku aku.
“Oh,
rahasia. Bilang makasih, dong,” kataku sambil menepuk dada.
Sepulang
sekolah, aku dipanggil Pak Cecep ke ruangannya. Di sana, kami berbicara berdua.
“Nah,
Adem, terima kasih banyak ya, bukunya bagus sekali. Bapak jadi ingat, kalau
senyum itu ibadah dan senyum itu indah. Sekali lagi Bapak ucapkan terima kasih
ya. Pantas saja selama ini Bapak selalu merasa gelisah. Ternyata Bapak
melalaikan salat dan tidak menampakkan senyuman,” kata Pak Cecep sambil
mewujudkan senyumannya.
Akhirnya,
kami dapat menyelesaikna misi kami sebagai ‘Sang Pencari Senyum’ dengan susah
payah. Kini Pak Cecep selalu tersenyum dan tidak pernah melalaikan salatnya.
Aku dan teman-teman telah sukses mencari dan menemukan senyum yang hilang dari
bibir Pak Cecep.
Erlangga Bagja Anugrah – XI
IPA 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar