• 2
  • IMG_20150423_133609
  • IMG_7489
  • javascript image slider
  • IMG_7497
21 IMG_20150423_1336092 IMG_74893 IMG_75854 IMG_74975
jquery image carousel by WOWSlider.com v8.8

Kamis, 28 September 2017

Sang Pencari Senyum


S
ebenarnya nama panggilanku adalah Adem. Entahlah, mengapa nenekku tersayang yang telah tiada memberikan nama aneh dan langka itu kepadaku. Aku mempunyai teman yang selalu membuat tersenyum di setiap saat. Mereka bernama Dendi, Ilham, dan Anggi. Kami telah bersahabat cukup lama dan sangat bahagia.
     Namun dibalik semua kebahagiaan itu, kami agak kurang berbahagia saat bertemu dengan salah satu guru di sekolah kami. Pak Cecep namanya. Ia merupakan guru Seni Budaya sekaligus kepala sekolah. Suaranya selalu terngiang ditelinga setiap siswa di sekolah. Semua siswa, siswi, pengajar, staff, office boy, satpam, dan tukang kebun sekolah pernah dimarahinya. Beliau adalah sosok guru yang terlalu tegas. Tapi gak masalah kan? Dengan begitu, siswa maupun siswi yang berada di sekolah ini akan lebih menaati peraturan sekolah. Betul tidak?
     Pak Cecep selalu memakai peci, tapi itu hanya untuk menutupi kepalanya yang botak. Entah mengapa, setiap waktu salat Dzuhur tiba, Pak Cecep bilang lebih suka salat di rumah daripada berjamaah dengan guru dan murid-muridnya.
     Wajah Pak Cecep selalu terlihat berlipat-lipat dan dipenuhi keringat. Umurnya yang lumayan cukup tua itu, semakin terlihat tua dengan menggunakan gigi palsu karena giginya yang telah bolong-bolong. Apalagi beliau tidak pernah menampakkan senyumannya, tetapi tidak ada yang tahu karena Pak Cecep hanya berbicara panjang lebar ketika pelajaran di kelas saja. Selebihnya, Pak Cecep tampak seperti orang bisu yang misterius.
***
     Dendi, anak paling malas di kelas, tetapi ia anak yang dermawan, ia selalu mentraktir jajan saat bel istirahat berbunyi. Tapi kali ini, dia ingin mencoba mendekati Pak Cecep. Banyak yang merasa khawatir tentang niatnya yang sedikit ekstrim. Untungnya Pak Cecep belum mengetahuinya.
     Pada rencana pertama ini, diam-diam Dendi telah menyelipkan koleksi komik Doraemon serta majalah kesukaan Dendi yang berisi tentang hal-hal menarik dan lucu di laci meja Pak Cecep. Dia berharap hal itu dapat membuat Pak Cecep tertawa terbahak-bahak saat melihatnya. Walau tidak sampai tertawa, minimal Dendi dapat mewujudkan mimpinya yaitu membuat Pak Cecep tersenyum. Alhasil, yang terjadi adalah Pak Cecep membuang komik serta majalah itu dan malah menjadi semakin galak.
     Hal tersebut, tidaklah membuat aku dan kawan-kawan jera. Tetangga Pak Cecep bernama Ilham, dia temanku, anaknya pintar meskipun kepintarannya tidak melebihi kepintaranku. Ilham mengetahui bahwa di belakang rumah Pak Cecep terdapat kolam ikan yang banyak sekali menampug ikan mas. Oleh karena itu, kami semua patungan untuk membelikan beberapa kilogram ikan mas untuk mengganti semua ikan yang ada di kolam sekolah dengan ikan mas. Katanya sih, setelah menggantikan ikan-ikan di sekolah dengan ikan mas, Pak Cecep mengambilnya. Ya, Pak Cecep memang membawa pulang semua ikan mas tersebut, tapi tanpa senyuman sedikit pun dan beliau tetap saja galak.
     Rencana ketiga, Anggi ternyata mempunyai kumpulan film-film komedi yang benar-benar mengocok perut dan menarik pipi setelah menonton. Tapi ketika diintip, ternyata Pak Cecep tidak tertawa sama sekali. Senyum pun tidak, malah wajahnya semakin masam. Peci yang dikenakannya sampai terjatuh dan memperlihatkan kepalanya yang mulus. Kami mau tertawa, tapi takut ketahuan.
***
     Selama beberapa hari ini, kami makin sibuk dengan trik-triknya dalam rangka mencari senyum Pak Cecep. Kadang kami merasa aneh, kok bisa-bisanya kami mau bersusah payah memikirkan hal itu? Padahal kan lebih baik tidur, makan, bermain, atau menoton tv.
     “Yah, lumayan untuk jadi pengisi waktu senggang,” batin kami menghibur diri.
     Lama-kelamaan, kami kapok juga. Masih untung Pak Cecep belum tahu siapa pelakunya. Bila tahu, pasti kami sudah dapat hadiah dampratan yang bertubi-tubi.
***
     Untuk sementara, kami ‘cuti’ dari kegiatan sebagai ‘Sang Pencari Senyum’. Dan hari ini, aku sedang asyik makan di tempat tidur sambil mendengarkan lagu dan membaca majalah otomotif.
     Tiba-tiba, aku mendapatkan sebuag ide yang cukup cemerlang. Oke, ini adalah rencana selanjutnya. Aku mampir ke rumah Pak Cecep, alasannya hanya untuk belajar bersama mengenai pembelajaran Seni Budaya. Diam-diam, aku menyelipkan sebuah buku kecil di memo besar milik Pak Cecep, lalu pulang.
     Malamnya, ketika Pak Cecep membuka buku memonya, beliau menemukan sebuah buku kecil yang berjudul Panduan dan Hukum Salat. Itulah buku yang aku selipkan.
     Pak Cecep membaca habis isi buku itu dan seminggu kemudian, Pak Cecep masuk kelas dengan muka cerah.
     “Assalamu’alaikum!” sapa Pak Cecep sambil memasang senyum manisnya. Seluruh penghuni kelas terkejut melihat Pak Cecep yang berubah drastis. Tak sengaja kami pun menjawab salam Pak Cecep dengan gugup.
     “Wa….Wa’alaikumussalam,” para siswa satu kelas pun menjawab bersamaan.
     “Eh, Dem, kamu apakan Pak Cecep?” Bisik Adit, teman sebangku aku.
     “Oh, rahasia. Bilang makasih, dong,”  kataku sambil menepuk dada.
     Sepulang sekolah, aku dipanggil Pak Cecep ke ruangannya. Di sana, kami berbicara berdua.
     “Nah, Adem, terima kasih banyak ya, bukunya bagus sekali. Bapak jadi ingat, kalau senyum itu ibadah dan senyum itu indah. Sekali lagi Bapak ucapkan terima kasih ya. Pantas saja selama ini Bapak selalu merasa gelisah. Ternyata Bapak melalaikan salat dan tidak menampakkan senyuman,” kata Pak Cecep sambil mewujudkan senyumannya.
     Akhirnya, kami dapat menyelesaikna misi kami sebagai ‘Sang Pencari Senyum’ dengan susah payah. Kini Pak Cecep selalu tersenyum dan tidak pernah melalaikan salatnya. Aku dan teman-teman telah sukses mencari dan menemukan senyum yang hilang dari bibir Pak Cecep.     



Erlangga Bagja Anugrah XI IPA 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar