Sepulchral
Maskur
Oktober 16, 2017
0 Comments
Gaung di jalanan terdegar seperti dengung nyamuk.
Warga berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka
yang menyelip di dalam genggaman siap siaga. Waktu ke waktu terdengar suara
khas sirine ambulan yang tak beraturan sementara warga itu mengisi waktu dengan
memotret mobil hitam itu yang, hmm, entah masih bisa dikatakan mobil
atau tidak, serta rerumputan dimana mayat itu dibaringkan.
Aparat
polisi, juga orang-orang dari ambulan yang mengenakan seragam serba putih,
terlihat asing baginya. Semua orang memiliki peran masing-masing disana.
Anggota masyarakat menyemut mengelilingi kedua mobil, sibuk sekali petugas
kepolisian itu menahan mereka. Sebagian sengaja datang hanya untuk menonton,
sebagian dan hanya benar-benar sebagian yang membantu. Banyak yang mengacungkan telepon genggamnya
tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan perjalanan. Masyarakat
memang menyebalkan disaat seperti ini.
“Ini dimana?”
Sendiri
perempuan itu selamat dengan luka bak gigitan semut. Terbangun menyimak keadaan
sekitar, bingung. Mengelus dada ia melihat lelaki itu terbaring ditutupi kain
hitam. Mengelus dada ia melihat wanita itu terbaring tak berdaya. Mengelus dada
juga ia melihat adik kecilnya yang berlumuran darah. Meraba sekujur tubuhnya, “Aku
selamat.”
“Sabar
ya, nak.” Berulang kali ia mendapat ucapan itu. Salah seorang warga menghampirinya
dan memintanya untuk menelpon keluarga terdekat. Dengan tangan tak berdaya,
sekuat tenaga ia mengetik nomor telepon. Entah kenapa, sebuah handphone terasa
seperti tak lain dan tak bukan adalah sebuah batu besar yang sangat berat. Lama
sekali rasanya menunggu nada sambung berubah menjadi “Halo, assalamualaikum.”
Respon pertama dari keluarga adalah ketidak
percayaan. Bagaimana bisa langsung percaya, 6 jam yang lalu mereka baru saja
bertemu. Berusaha perempuan itu meyakinkan keluarganya, berhasil juga.
**
“Dek,
ayo cepat ambil barang-barang kamu. Kita ke puskesmas terdekat.” Kata
salahseorang berbaju serba putih.
Berlari
perempuan itu menuju mobil. Susah sekali pintu mobil dibuka. Mencoba kesemua
pintu, yang bisa terbuka hanya pintu depan sebelah kiri. Sudah tidak memikirkan
yang lain, perempuan itu langsung mengambil tas dan dompet. Sekilas ia lihat,
keadaan mobil itu sudah tidak berbentuk mobil lagi. Isinya berantakan tak
karuan. Ah, sudahlah.
Tangis
adik kecil tak kunjung henti, muak perempuan itu mendengarnya sepanjang
perjalanan menuju puskesmas. Namun, lebih muak lagi perempuan itu dengan
masyarakat sekitar. Sesampainya di puskesmas, heboh suasana.
“Pigi
la kau semua! Muak kali aku ni!” Keluar juga logat bataknya.
Bisa-bisanya,
puskesmas berisi orang sehat yang menonton, bukan pasien. Huft. Perempuan
itu butuh ketenangan, seolah ia belum sadar apa yang sebenarnya terjadi. Sesak
nafasnya, butuh oksigen. Namun, apa daya, semua perawat sibuk menolong korban
yang terluka parah. Akhirnya, perempuan itu berusaha menolong dirinya sendiri.
“Suster,
ini gimana cara ngepasin tekanan oksigennya?”
“Haduh,
sebentar ya, dek. Saya ngurus ibu kamu dulu.”
Cocok
atau tidak tekanannya, perempuan itu paksakan agar oksigen bisa masuk ke
tubuhnya. Ya, terkadang kita memang harus bisa menolong diri sendiri.
**
Teriakan
kesakitan bagai burung berkicau dipagi hari. Perempuan itu masih sendiri,
bertahan, menunggu kabar, terduduk, dan tidak tau harus bagaimana. Dia
kehilangan arah dan dia hanya bisa berdoa. Tak lama seorang polisi
mendatanginya, Jonri namanya.
“Selamat
siang, dek.”
“Siang,
pak.”
“Adek,
ini keluarganya yang mana saja?”
“Itu,
itu, sama satu lagi gak tau dimana.” Sambil menunjuk beberapa orang.
“Oh,
adek namanya siapa?”
“Karen
Kasai.”
“Boleh
minta data keluarganya, dek?”
“Baiklah.”
Belum
selesai urusan Karen dengan polisi itu, datang Polisi Dean dan menyampaikan
pesan bahwa keluarga Karen harus dirujuk ke RSUD Kabinang.
“Butuh
berapa jam untuk sampai disana?”
“Sekitar
2 jam, dek.”
“Oh,
terus, ayah aku dimana?”
“Ayah
kamu yang mana ya, dek?”
“Hmm,
yang tadi pisah ambulan itu.”
“Oalah,
itu kan sudah-“
“Sstt.”
Potong Polisi Jonri.
“Sudah
apa, pak? Katakan saja yang sebenarnya, tidak usah ditutup-tutupi. Saya juga sudah
tahu ayah saya mati.”
“Heish,
gak kok, dek. Ayah kamu sehat.”
“Bohong.
Boleh aku ketemu?”
“Ayah
belum sampai, dek.”
“Jelas-jelas
tadi ayah dibawa ke kamar mayat.” Ingin sekali Karen meluapkan kekesalannya
terhadap pihak kepolisian, tapi entah mengapa yang keluar dari mulut Karen
hanyalah,
“Hm,
yasudah.”
Karen
tahu semuanya, dia melihat sendiri ayahnya dibaringkan ditutupi kain hitam.
Karen tahu jika sebenarnya memang sengaja dipisahkan ambulannya agar keluarga
yang menjadi korban tidak kepikiran. Karen tahu bahwa ayahnya sudah sampai di
puskesmas namun ruangannya dipisah. Hanya Karen yang masih bisa berdiri diatas
kaki sendiri. Sendiri juga Karen duduk diambulan dan yang lainnya terbaring
merintih kesakitan.
**
Sekelompok
perawat menyambut kedatangan ambulan keluarga Karen. Saling membantu
memindahkan keluarga Karen ke IGD. Karen terdiam, bingunglah dia harus
bagaimana sampai polisi itu mendatanginya lagi, Polisi Jonri.
“Karen,
kamu umurnya berapa? Sudah ada KTP, kah?”
“15,
belum, pak. Tapi kalau daftar pasien dan lain-lain saya bisa sendiri, pak.”
“Oh,
yasudah, baguslah. Kamu ke meja sana saja bertemu dengan penjaga disana lalu
daftarkan keluarga mu.”
“Oke.”
Berjam-jam
berlalu. Akhirnya ibu Karen pun sadar dan “Ayah dimana, kak?”
Karen bimbang, “haduh,”
berpikir, “jawab apa gue,”
terdiam, “hmm,”
skakmat, “bilang yang sebenarnya aja, deh.”
Tak tahan juga Karen memendamnya sendirian.
Frontal, ia langsung menjawab, “Sudah gaada, ma.” Hening, ibu tidak percaya dengan Karen. Ibu tetap menunggu dan terus
menunggu kabar, sampai akhirnya ibu pun tertidur.
**
Pagi
itu pukul 04.00, keluarga terdekat pun telah sampai. Tangis sedih itu
oleh-olehnya. Tante Rei menyampaikan secara perlahan ke ibu Karen bahwa ayah
benar-benar sudah tiada. Tangis dan tangis. “Bukan saatnya buat ikutan nangis, tahan, Ren.” Ujar Karen pada
dirinya sendiri. Setelah itu, karena keluarga korban sudah datang, langsung
ditindak lanjuti. Ya, keluarga Karen dirujuk lagi ke rumah sakit khusus bedah
di Sumatera Barat.
Cahaya
dingin menerangi wajah ayah. Hanya Karen sendiri yang diizinkan untuk masuk ke
ambulan ayah. Itu karena cuma Karen yang bisa berjalan. Karen berjongkok di
dekat ayah, darah masih mengalir dari kedua telinga ayah. Alisnya yang dijahit,
bibir yang sedikit tersenyum, ada kesan meresahkan saat seolah-olah lelaki itu
bernafas kembali dan siap bangkit berdiri melanjutkan perjalanan liburan. Karen
menyentuh ayah.
“Gilsss,
beku anjay.”
Belum
puas Karen memandangi jenazah itu, Polisi Jonri memanggil Karen. Menyuruh agar cepat turun dari ambulan dan
langsung pergi. Iya, pergi dengan destinasi yang berbeda. Ibu dan adik Karen
dibawa ke rumah sakit. Sedangkan ayah Karen dibawa ke Tengoku untuk langsung
dimakamkan.
“Terus,
aku ke rumah sakit jadinya?”
“Iya,
Karen mau naik ambulan sama ibu atau adik kamu?” Tukas Polisi Jonri.
“Maunya
ke Tengoku, ikut makamin ayah.”
“Hmm,
sendiri kamu yakin gaayah?”
“Yakin,
pak.”
Akhirnya
Karen pergi ke Tengoku bersama orang yang bahkan ia tak kenal. Perjalanan macet
karena arus balik mudik, 5 jam dijalan habis untuk ke Tengoku. Hari itu hari
Jumat, hari yang panas dan cukup memuakkan bagi seorang Karen.
Karen
tiba di Tengoku, sambutan duka dari keluarga besar membuatnya tambah sedih. Karen
berdiri bergeming, memandangi ayahnya yang sedang dikeluarkan dari ambulan,
sejenak mengalami momen keterpurukan yang tidak akan pernah dipahami siapapun.
Seraya meresapi momen itu, seakan Tuhan ingin mengujinya agar lebih mandiri dan
tanggungjawab terhadap hidupnya sendiri.
Proses
demi proses dilakukan terhadap jenazah dilewati sendiri oleh Karen. Penguburan
yang terakhir. Kali ini, tidak ada lagi kata hampir
seorang Karen akhirnya menangis.
Air mata mengalir membabi buta dan membasahi pipinya.
**
Karen
membungkuk dan mengecek telepon genggamnya. Banyak sekali ucapan duka. Berita
tersebar begitu cepat dan heboh. Belum lagi kalau ada yang bertanya-tanya
bagaimana proses kejadiannya. “Hell, gue aja nyoba buat ngelupain kok malah
temen gue sendiri yang ngorek-ngorek biar gua cerita detail.” Karen kesal
sekali. Bagaimana tidak, kematian ayah Karen tidak wajar dan itu adalah yang
tersuram bagi Karen. Move on dari peristiwa itu sama saja seperti
susahnya move on dari mantan. Semuanya butuh waktu.
Karen
sudah menduga, setelah ini pasti ia akan diburu-buru untuk pergi ke rumah sakit
menemui ibu dan adiknya. Berjam-jam melewati kelokan indah Pulau Sumatera yang
menawan, senyum tipis Karen dibuatnya. Tapi sayang, situasi sedang tidak
mendukung keindahan alam itu. Sampailah Karen di rumah sakit. Putih dan hanya
putih pemandangannya. Mulai dari seprei kasur, cat dinding, perban, lantai, dan
lampu khas rumah sakit.
Tidur
di lantai hanya beralaskan sajadah itu sudah menjadi kebiasaan bagi Karen. Mau
tidak mau ia harus menerimanya. Tidak ada extra bed yang nyaman di rumah
sakit. Bisa tidur selama 3 jam sehari rasanya sudah sangat bersyukur. Walaupun
tidak senyenyak tidur di Grand Hyatt Jakarta, sih. Tapi Karen percaya, semua
ada hikmahnya. Ia tetap bersabar sampai saatnya ia mendapatkan tiket perjalanan
menuju pulang ke Jakarta.
***
“Kak,
ayo bangun siap-siap kita mau pergi.” Ujar mama.
“Masih
ngantuk ma. Besok aja…” Karen melanjutkan tidurnya.
“Ih,
ayo bangun sudah ditunggu papa itu di mobil!”
“Hoamm,
bentar ma, baru juga bangun.”
“Mimpi
apa kamu Karen? Nyenyak banget tidurnya. Sampe basah juga itu mata kamu.”
“Mimpi
apa ya?”
“Mimpi
buruk, kah?” Tukas mama seolah ia tau segalanya.
“Iya,
kali, ya? Udah lupa, ma.”
“Ya
sudah, cepat siap-siap. Mama tunggu dimobil ya.”
“Siap.”
“Jadi
semua itu mimpi? Haha, mimpi yang indah. Membuatku kapok untuk melawan orang
tua ku.” –Karen
Claresta Pirena Gandana – XI IPA 3