A
|
ku adalah seorang
gadis berumur dua puluh lima tahun. Tak tahu aku berada di mana sekarang yang
takdir membawaku kesebuah tempat yang sangat tak ku kenali. Aku tak bisa
percaya apakah Tuhan yang rencanakan untuk takdirku sekarang. Udara dingin
menusuk tulangku yang kering ini, maklum saja di sini suhu udara berkisar -2°C.
***
8
tahun yang lalu
Aku lahir dari rahim seorang ibu yang
sangat menyayangiku dan seorang ayah yang pada saat kelahiranku ia tidak akan
bisa melihat wajahku. Andhira Mahdya Khairunnisa mereka menamaiku begitu aku
lahir. Nama yang cukup cantik bagiku. Ayahku seorang tuna netra yang
pekerjaannya sebagai tukang pijat keliling. Hasil dari pekerjaan ayaku ini
tidak dapat menghidupi untuk kami berlima. Kedua adikku terpaksa putus sekolah
karena ayah dan ibuku tidak sanggup untuk membiayai sekolah kedua adikku dan
hanya mempertahankan aku untuk membiayai sekolahku ke jenjang yang lebih
tinggi. Dan tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku, aku diam-diam bekerja
sebagai penjaga warnet yang gajinya pun tak seberapa untuk uang sekolahku.
Tiga
tahun pun berlalu, tak terasa akupun telah lulus dan melepaskan seragam abu-abu
tercinta yang ayah dan ibuku mendapatkannya dengan susah payah. Sastra
Indonesia jurusan yang ku inginkan dan ku terpilih menjadi siswa di salah satu
perguruan tinggi negeri di Jogjakarta. Aku bersyukur karena tuhan memberikan
kecerdasan ini dan memberiku kesempatan emas ini untuk melanjutkan pendidikanku
ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi, apakah aku mempunyai cukup biaya yang
bisa membiayai pendidikan ini?. Ingin sekali rasanya ku ingin menjadi orang
kaya sehari hanya untuk membiayai pendidikan ku ini, tapi takdir berkata lain.
Ku diberikan oleh Tuhan untuk menjalani kehidupan ini. Surat yang ku bawa di
tangaku ini surat yang akan meyusahkan kedua orang tuaku bila melihatnya. Aku
tak tega memberikan surat ini kepada kedua orang tuaku dan terpaksa ku simpan
surat ini di kamarku.
Tak
kusangka hari ini hari kelulusan ku dimana ku mengajak seluruh keluargaku untuk
hadir diacara yang memberiku semangat selama tiga tahun. Berpisah dengan
teman-temanku bukanlah hal yang sedih seperti kebanyakan anak-anak SMA lainya.
Aku lebih memilih bekerja daripada menghabiskan waktu yang tak berguna bersama
teman-temanku. Di sekolah diriku mempunyai sahabat yang setia membantu dan
menolongku, tetapi aku tak mau merasa dikasihani, aku berterima kasih kepada
sahabat-sahabaku yang membantuku dan baik kepadaku, meskipun tak banyak yang
bisa ku berikan kepada sahabat-sahabatku.
Ini
waktu yang ku nantikan saat pembacaaan hasil ujian tertinggi. Namaku tersebut
dalam peringakat tertinggi kedua disekolahku dan tertinggi di urutan kelima di
kotaku. Aku bersyukur karena tuhan memberikan momen terbaik dalam hidupku ini.
Sahabat dan teman-temanku mengucapkan selamat atas penghargaan ini. Kedua orang
tuaku melihat dan memberikan seyuman manis terbaik yang mereka miliki, tampak
bangga mereka melihatku dan merasa beruntung memilikiku.
Surat
ini masih ku simpan dan ku gengam erat-erat, masih ada waktu tiga minggu lagi
untuk melunasi biaya administrasi perguruan tinggiku. Ingin sekali menunjukan
surat ini kepada kedua orang tuaku, tetapi ragu hatiku bila aku mengecewakan
mereka. Ku hitung jumlah tabungan ku, ada seperempat dari biaya perguruan
tinggi ini.
Ragu
ragu ku berjalan kearah ibuku “Bu, Dhira mau membicarakan sesuatu kepada ibu”
“Iya
nduk bicaralah” suara lembut ibu
membuat ku tak berani meminta apa-apa lagi selain kasih sayangnya, tapi aku
memberanikan diriku agar cita cita di masa depanku tercapai.
“Jadi
begini bu, Dhira terlambat bilang ini ke ibu karena Dhira takut dan ragu ingin
memberikan ini” Aku pun menyodorkan beberapa lembar helai kertas yang menjadi
bukti bahwa Aku diterima di sebuah perguruan tinggi.
“Dhira di terima perguruan tinggi di
Jogjakarta, Dhira sangat ingin sekali, tapi Dhira tahu melanjutkan ke perguruan
tinggi memerlukan biaya yang tidak sedikit, Dhira pun hanya mempunyai
seperempat biaya kuliah dari hasil kerja Dhira selama ini, Dhira tahu biaya
pendidikan ini menyusahkan ibu dan ayah, Dhira hanya ingin memberi tahu saja,
kalau pun ibu dan ayah tidak bisa
membiayai ini sudah jangan dipaksakan, Dhira tidak mampu berarti untuk
mengambil perguruan ini dan rencananya Dhira akan melamar kerja saja agar
kehidupan kita bertambah baik dan bisa melanjutkan sekolah fahri dan alif”
ucapku pelan
Akupun melihat ke arah ibuku yang tertegun
membaca beberapa helai kertas yang menurutku itu menyusahkannya, mau bagaimana
lagi cepat ataupun lambat ku harus memberitahukan kepada ibuku agar ia tidak
merasa kecewa kepada ku. Aku pun meninggalkan ibu yang menelaah surat itu dan
kembali ke kamar mempersiapkan beberapa dokumen untuk melamar pekerjaaan yang
kupikir nanti akan membatu biaya hidup keluargaku.
Lega rasanya ku memberikan surat itu ke
ibu. Matahari pun lambat laun berjalan untuk meninggalkan tempatnya, ayah
pulang dengan membawa beberapa lembaran uang kertas yang nominalnya pun tidak seberapa
bagi orang lain. Bagiku itu hasil dari jerih payah ayahku ini sangat
bermanfaaat bagi kami untuk menghidupi lima orang yang di gubuk reot ini. Aku
sangat bersyukur karena Tuhan masih ingin memberikan rezeki kepada kami
meskipun dengan jumlah yang bisa dibilang tidak banyak.
Senja malam pun tiba. Hanya lampu petromak
yang menemani kami berlima berkumpul di ruang keluarga gubuk kami yang kecil.
Diskusi bersama sebelum tidur menjadi kebiasaaan keluargaku. Diskusi selesai
setelah membahas peristiwa-peristiwa yang kami alami sehari penuh tadi. Kedua
adikku bergegas pergi memasuki kamar mereka dan segara pergi tidur. Ibu dan
ayah masih menahanku di tempat yang sama.
“Nduk¸
ibumu bilang tadi kamu keterima di Universitas Gadjah Mada, apakah kamu
serius ingin melanjutkan pendidikanmu ini” ucap ayahku pelan
Dheg…, hatiku jadi tak tenang pada saat ini, rasanya ku tak ingin membuat
kedua orang tuaku merasa susah dengan beban ini.
“Kalau kamu serius, ayah bersedia untuk
membiayai pendidikan mu ini nduk, ayah
memiliki sedikit tabungan, ayah sudah berpikir bahwa hal ini akan terjadi dan
ayah harus melakukan yang terbaik untukmu walaupun ayah ini mempunyai
kekurangan yang tak bisa di terima oleh orang lain nduk,” ucap ayahku
Tetesan air mata ini tak sanggup untu ku tahan
lagi. Aku memeluk ayahku tanda ucapan terima kasihku dan rasa sayangku
kepadanya.
“Dhira tahu yah, Dhira sudah menyusahkan
ayah, tetapi kalau ayah tak sanggup, Dhira akan bekerja saja membantu ayah dan
ibu menambah penghasilan untuk menghidupi keluarga ini.” Jawabku gugup
“Tak papah, kamu lanjutkan saja
pendidikanmu ini, ayah bersedia membiayaimu sampai kau lulus. Ayah percaya
bahwa rezeki itu tidak akan kemana” ucap Ayahku pelan.
Akhirnya
dengan izin dan restu kedua orangtuaku aku melanjutkan pendidikanku di
Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Menempuh perjalanan 4 tahun untuk menjadi
sarjana sastra. Tak mudah untuk menempuh itu semua. Banyak lika-liku yang harus
ku hadapi. Aku harus mencari cara agar biaya pendidikan ini tak membebani kedua
orangtuaku. Rajin mencari event-event
beasiswa untuk mempermudah jalanku menuju sarjana sastra adalah salah satu cara
untuk meringankan biaya pendidikanku ini.
Tiga
tahun berlalu, setelah menempuh masa-masa yang berat untuk mencapai sarjana
sastra Indonesia yang ku inginkan. Tahun terakhir sebelum menempuh lajur sidang
setelah menyusun skripsi. Mencari-cari pekerjaan yang cocok untukku dan
melanjutkan setelah mendapatkan gelar yang kutunggu tunggu setelah 4 tahun lama
menunggu.
Seperti biasa aku menjalani kehidupanku
seperti hari hari yang lalu. Tak banyak kenangan kenangan unik pada setiap
harinya yang bisa ku dapat. Aku berjalan menuju ruangan kelas di kampusku.
Sebelum masuk ke ruangan, aku melewati dinding mading yang berisi tentang
informasi-informasi kegiatan kampus dan beasiswa-beasiswa yang ditawarkan oleh
sebuah event. Melihat ada sebuah
sesuatu yang menakjubkan bagiku, ku foto sesuatu yang menakjubkan ini di hape
murahku.
Masih memikirkan, harus ku putuskan apa
tidak untuk ini. Berpikr untuk bertanya ke ibu. Satu-satunya pencerahan yang
kupunya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan ini kepada ibu.
“Bu, Dhira ingin bertanya pada ibu” tanyaku
ragu pada ibu
“Ya, nduk
silahkan. Kenapa nduk?”
“Jadi begini bu, ada event lomba di
kampus,” sambil ku tunjukan selembaran yang terpampang di dinding mading
dikampusku tadi kepada ibuku.
“Dhira mau ikutan ini, dhira sudah punya
bahan untuk seleksinya bu, kalo diizinkan dhira akan mengikutinya, dan
hadiahnya tak main main bu setahun belajar dan menjadi tutor jurusan sastra
Indonesia dan melayu di Hankuk University. Dan disana insyallah di gaji juga
bu” kataku penuh harap.
Ayahpun datang menghapiri kami diruang
tamu. “kalian lagi ngapain, ayah ga diajak cerita nih ceritanya?” canda ayahku
membuyarkan keseriusanku pada ibu. Lalu aku menceritakan hal yang sama kepada
ayahku.
“Itu terserah padamu nduk, semua ada di tanganmu, keputusanmu yang membuat masa depanmu,
kami sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan dan mendukungmu nduk. Ayah setuju kalo kamu ingin
mengikuti seleksi ini nduk. Yang
penting kamu ikhtiar dan percaya bahwa ini keputusanmu. Bilang pada ayah kalau
kamu butuh uang, insyallah ayah
punya” ucap ayahku yang membuatku menangis bahagia.
Lima bulan berlalu, hari ini adalah hari
sidang skripsi yang telah kususun setahun yang lalu. Banyak pengalaman yang
dapat ku ambil dari pendidikanku ini. Sidangku di uji oleh para penguji-
penguji di kampusku, dua jam berlalu, aku keluar dengan penuh bahagia.
Skripsiku diterima, dan gelar S,si
telah diraih olehku begitu aku menjalani wisuda. Masih satu perjuanganku, yaitu
seleksi beasiswa yang ku impikan disana. Segera aku menuju ketempat seleksi
yang tak jauh dari kampusku.
Tak terlambat aku datang ketempat itu. Ku
persiapkan segala yang berhubungan dengan seleksi ini. Mulai dari bahan
presentasiku, tuuanku mengikuti ini dan apa motivasiku ini. Tak lama kemudian
namaku dipanggil.
“Andhira Mahdya Khairunnisa, silahkan
masuk” panggil panitia penyeleksi.
Aku masuk dan menjelaskan beberapa
penjelasan, presentasiku keliahatan menarik menurut mereka, beberapa pertanyaan
di lontarkan kepadaku mengapa aku mengikuti seleksi ini dan pertanyaan paling
sulit yang mereka lontarkan apakah siap aku meninggalkan keluargaku. Semua ku
jawab dengan mengikuti kata hatiku. Selesai sudah wawancaraku dan akupun
kembali kerumah. Pengumuman penerimaan tiga bulan kemudian. Bertepatan dengan
sehari setelah wisudaku.
Tiga
bulan kemudian
Pukul 07.00 tepat, aku dan bersama
keluargaku sudah berada di kampusku untuk melaksanakan acara wisudaku bersama
dengan yang lain. Tanpa rasa malu aku membawa semua keluargaku untuk
menyaksikan acara yang membuatku bahagia. Susunan acara proses wisuda berjalan
dengan baik sampai dengan susunan terakhir. Aku akhirnya mendapatkan gelar S,si yang akan ku persembahkan untuk kedua
orangtuaku. Berfoto bersama dengan keluargaku dengan menggunakan toga tanda
terakhir pencapaianku di pendidikan, tetapi masi ada satu lagi yang masih
menjadi tujuan utama hidupku yaitu meneruskan pendidikanku ke Hankuk University
di Korea Selatan.
Sebelumnya,
setelah aku selesai wawancara aku mempersiapkan Bahasa Korea yang digunakan
disana dan referensi-referensi yang mungkin saja bisa membantu sebelum aku
pergi ke Korea kalau aku diterima. Tetapi kalau tidak aku bisa menjadikan itu
sebagai keahlian sampinganku dan bisa dijadikan pekerjaan di Indonesia.
Pikiranku
kemana mana malam hari ini, aku tak bisa fokus. Berdoa kepada Allah, diberikan
yang terbaik untukku. Setelah itu aku tidur dan bersiap untuk besok.
Pengumuman
di umumkan di surat kabar, internet, dan kantor tempat seleksi dilakukan. Pagi
ini aku bersiap untuk pergi membeli surat kabar. Hatiku tak karuan rasanya,
menebak nebak biasa dilakukan oleh orang lain. Aku tetap tawakal kepada Allah.
Kalaupun tidak diterimapun tak masalah bagiku, mempunyai pengalaman saja sudah
cukup untuk mencari pekerjaan.
Menunggu
mengantri membeli koran, tak sedikit pula yang membeli koran hari ini hanya
untuk melihat pengumuman yang tertera di surat kabar hari ini. Beberapa orang
terlihat tersenyum, maklum saja dari sekian banyak orang yang ikut mendaftar
hanya 30 orang saja yang dapat beasiswa sekaligus menjadi tutor di Hankuk
University.
Koran
sudah ku dapatkan. Dengan teliti ku cari namaku. Tepat di urutan ke 20 namaku
terpajang di koran. Terpampang jelas aku lulus mendapatkan beasiswa itu. Sujud
syukur ku lakukan saat itu dan berlari pulang ke rumahku tanpa menghiraukan
orang orang yang adadi sekitarku.
“Ibu, Ayah. Alhamdullilah aku diterima dan
mendapatkan beasiswa ini” sambil memeluk kedua orangtuaku. Kedua orangtuaku
menitikan air mata bahagia. Mereka percaya bahwa rezeki itu sudah ada yang
mengatur dan ini bukti kekuasaan Allah.
***
Saat ini aku menginjakkan kaki di depan
gerbang Hankuk University, aku siap melanjutkan hidupku untuk memberikan
sesuatu yang unik dalam hidupku. Tinggal selama setahun di negara yang asing
jauh dari kedua orangtua dan keluarga membuat motivasi baru untukku. Belajar
dan menjadi tutor untuk anak-anak sekolah dasar di sana akan kulakukan. Semua
ini demi keluargaku yang sayang serta selalu mendoakanku kapanpun dimanapun.
Aku percaya kaya itu tak hanya bisa membuat hidup lebih mudah tanpa adanya
cinta dan kasih sayang dari keluarga. Kaya itu hanyalah pemberian bonus yang
diberian oleh Allah untuk kita.
Anisa Aprilyana – XI IPS 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar