• 2
  • IMG_20150423_133609
  • IMG_7489
  • javascript image slider
  • IMG_7497
21 IMG_20150423_1336092 IMG_74893 IMG_75854 IMG_74975
jquery image carousel by WOWSlider.com v8.8

Senin, 16 Oktober 2017

Sepulchral

Gaung di jalanan terdegar seperti dengung nyamuk. Warga berdiri berkerumun di balik garis batas yang dijaga polisi, kamera mereka yang menyelip di dalam genggaman siap siaga. Waktu ke waktu terdengar suara khas sirine ambulan yang tak beraturan sementara warga itu mengisi waktu dengan memotret mobil hitam itu yang, hmm, entah masih bisa dikatakan mobil atau tidak, serta rerumputan dimana mayat itu dibaringkan.
     Aparat polisi, juga orang-orang dari ambulan yang mengenakan seragam serba putih, terlihat asing baginya. Semua orang memiliki peran masing-masing disana. Anggota masyarakat menyemut mengelilingi kedua mobil, sibuk sekali petugas kepolisian itu menahan mereka. Sebagian sengaja datang hanya untuk menonton, sebagian dan hanya benar-benar sebagian yang membantu.  Banyak yang mengacungkan telepon genggamnya tinggi-tinggi untuk mengambil gambar sebelum melanjutkan perjalanan. Masyarakat memang menyebalkan disaat seperti ini.
     “Ini dimana?”
     Sendiri perempuan itu selamat dengan luka bak gigitan semut. Terbangun menyimak keadaan sekitar, bingung. Mengelus dada ia melihat lelaki itu terbaring ditutupi kain hitam. Mengelus dada ia melihat wanita itu terbaring tak berdaya. Mengelus dada juga ia melihat adik kecilnya yang berlumuran darah. Meraba sekujur tubuhnya, “Aku selamat.”
     “Sabar ya, nak.” Berulang kali ia mendapat ucapan itu. Salah seorang warga menghampirinya dan memintanya untuk menelpon keluarga terdekat. Dengan tangan tak berdaya, sekuat tenaga ia mengetik nomor telepon. Entah kenapa, sebuah handphone terasa seperti tak lain dan tak bukan adalah sebuah batu besar yang sangat berat. Lama sekali rasanya menunggu nada sambung berubah menjadi “Halo, assalamualaikum.”
Respon pertama dari keluarga adalah ketidak percayaan. Bagaimana bisa langsung percaya, 6 jam yang lalu mereka baru saja bertemu. Berusaha perempuan itu meyakinkan keluarganya, berhasil juga.
**
     “Dek, ayo cepat ambil barang-barang kamu. Kita ke puskesmas terdekat.” Kata salahseorang berbaju serba putih.
     Berlari perempuan itu menuju mobil. Susah sekali pintu mobil dibuka. Mencoba kesemua pintu, yang bisa terbuka hanya pintu depan sebelah kiri. Sudah tidak memikirkan yang lain, perempuan itu langsung mengambil tas dan dompet. Sekilas ia lihat, keadaan mobil itu sudah tidak berbentuk mobil lagi. Isinya berantakan tak karuan. Ah, sudahlah.
     Tangis adik kecil tak kunjung henti, muak perempuan itu mendengarnya sepanjang perjalanan menuju puskesmas. Namun, lebih muak lagi perempuan itu dengan masyarakat sekitar. Sesampainya di puskesmas, heboh suasana.
     “Pigi la kau semua! Muak kali aku ni!” Keluar juga logat bataknya.
     Bisa-bisanya, puskesmas berisi orang sehat yang menonton, bukan pasien. Huft. Perempuan itu butuh ketenangan, seolah ia belum sadar apa yang sebenarnya terjadi. Sesak nafasnya, butuh oksigen. Namun, apa daya, semua perawat sibuk menolong korban yang terluka parah. Akhirnya, perempuan itu berusaha menolong dirinya sendiri.
     “Suster, ini gimana cara ngepasin tekanan oksigennya?”
     “Haduh, sebentar ya, dek. Saya ngurus ibu kamu dulu.”
     Cocok atau tidak tekanannya, perempuan itu paksakan agar oksigen bisa masuk ke tubuhnya. Ya, terkadang kita memang harus bisa menolong diri sendiri.
**
     Teriakan kesakitan bagai burung berkicau dipagi hari. Perempuan itu masih sendiri, bertahan, menunggu kabar, terduduk, dan tidak tau harus bagaimana. Dia kehilangan arah dan dia hanya bisa berdoa. Tak lama seorang polisi mendatanginya, Jonri namanya.
     “Selamat siang, dek.”
     “Siang, pak.”
     “Adek, ini keluarganya yang mana saja?”
     “Itu, itu, sama satu lagi gak tau dimana.” Sambil menunjuk beberapa orang.
     “Oh, adek namanya siapa?”
     “Karen Kasai.”
     “Boleh minta data keluarganya, dek?”
     “Baiklah.”
     Belum selesai urusan Karen dengan polisi itu, datang Polisi Dean dan menyampaikan pesan bahwa keluarga Karen harus dirujuk ke RSUD Kabinang.
     “Butuh berapa jam untuk sampai disana?”
     “Sekitar 2 jam, dek.”
     “Oh, terus, ayah aku dimana?”
     “Ayah kamu yang mana ya, dek?”
     “Hmm, yang tadi pisah ambulan itu.”
     “Oalah, itu kan sudah-“
     “Sstt.” Potong Polisi Jonri.
     “Sudah apa, pak? Katakan saja yang sebenarnya, tidak usah ditutup-tutupi. Saya juga sudah tahu ayah saya mati.”
     “Heish, gak kok, dek. Ayah kamu sehat.”
     “Bohong. Boleh aku ketemu?”
     “Ayah belum sampai, dek.”
     “Jelas-jelas tadi ayah dibawa ke kamar mayat.” Ingin sekali Karen meluapkan kekesalannya terhadap pihak kepolisian, tapi entah mengapa yang keluar dari mulut Karen hanyalah,
     “Hm, yasudah.”
     Karen tahu semuanya, dia melihat sendiri ayahnya dibaringkan ditutupi kain hitam. Karen tahu jika sebenarnya memang sengaja dipisahkan ambulannya agar keluarga yang menjadi korban tidak kepikiran. Karen tahu bahwa ayahnya sudah sampai di puskesmas namun ruangannya dipisah. Hanya Karen yang masih bisa berdiri diatas kaki sendiri. Sendiri juga Karen duduk diambulan dan yang lainnya terbaring merintih kesakitan.
**
     Sekelompok perawat menyambut kedatangan ambulan keluarga Karen. Saling membantu memindahkan keluarga Karen ke IGD. Karen terdiam, bingunglah dia harus bagaimana sampai polisi itu mendatanginya lagi, Polisi Jonri.
     “Karen, kamu umurnya berapa? Sudah ada KTP, kah?”
     “15, belum, pak. Tapi kalau daftar pasien dan lain-lain saya bisa sendiri, pak.”
     “Oh, yasudah, baguslah. Kamu ke meja sana saja bertemu dengan penjaga disana lalu daftarkan keluarga mu.”
     “Oke.”
     Berjam-jam berlalu. Akhirnya ibu Karen pun sadar dan “Ayah dimana, kak?”
Karen bimbang, “haduh,”
berpikir, “jawab apa gue,”
terdiam, “hmm,”
skakmat, “bilang yang sebenarnya aja, deh.”
Tak tahan juga Karen memendamnya sendirian. Frontal, ia langsung menjawab, “Sudah gaada, ma.” Hening, ibu tidak percaya dengan Karen. Ibu tetap menunggu dan terus menunggu kabar, sampai akhirnya ibu pun tertidur.
**
     Pagi itu pukul 04.00, keluarga terdekat pun telah sampai. Tangis sedih itu oleh-olehnya. Tante Rei menyampaikan secara perlahan ke ibu Karen bahwa ayah benar-benar sudah tiada. Tangis dan tangis. “Bukan saatnya buat ikutan nangis, tahan, Ren.” Ujar Karen pada dirinya sendiri. Setelah itu, karena keluarga korban sudah datang, langsung ditindak lanjuti. Ya, keluarga Karen dirujuk lagi ke rumah sakit khusus bedah di Sumatera Barat.
     Cahaya dingin menerangi wajah ayah. Hanya Karen sendiri yang diizinkan untuk masuk ke ambulan ayah. Itu karena cuma Karen yang bisa berjalan. Karen berjongkok di dekat ayah, darah masih mengalir dari kedua telinga ayah. Alisnya yang dijahit, bibir yang sedikit tersenyum, ada kesan meresahkan saat seolah-olah lelaki itu bernafas kembali dan siap bangkit berdiri melanjutkan perjalanan liburan. Karen menyentuh ayah.
     “Gilsss, beku anjay.
     Belum puas Karen memandangi jenazah itu, Polisi Jonri memanggil Karen.  Menyuruh agar cepat turun dari ambulan dan langsung pergi. Iya, pergi dengan destinasi yang berbeda. Ibu dan adik Karen dibawa ke rumah sakit. Sedangkan ayah Karen dibawa ke Tengoku untuk langsung dimakamkan.
     “Terus, aku ke rumah sakit jadinya?”
     “Iya, Karen mau naik ambulan sama ibu atau adik kamu?” Tukas Polisi Jonri.
     “Maunya ke Tengoku, ikut makamin ayah.”
     “Hmm, sendiri kamu yakin gaayah?”
     “Yakin, pak.”
     Akhirnya Karen pergi ke Tengoku bersama orang yang bahkan ia tak kenal. Perjalanan macet karena arus balik mudik, 5 jam dijalan habis untuk ke Tengoku. Hari itu hari Jumat, hari yang panas dan cukup memuakkan bagi seorang Karen.
     Karen tiba di Tengoku, sambutan duka dari keluarga besar membuatnya tambah sedih. Karen berdiri bergeming, memandangi ayahnya yang sedang dikeluarkan dari ambulan, sejenak mengalami momen keterpurukan yang tidak akan pernah dipahami siapapun. Seraya meresapi momen itu, seakan Tuhan ingin mengujinya agar lebih mandiri dan tanggungjawab terhadap hidupnya sendiri.
     Proses demi proses dilakukan terhadap jenazah dilewati sendiri oleh Karen. Penguburan yang terakhir. Kali ini, tidak ada lagi kata hampir seorang Karen akhirnya menangis. Air mata mengalir membabi buta dan membasahi pipinya.
**
     Karen membungkuk dan mengecek telepon genggamnya. Banyak sekali ucapan duka. Berita tersebar begitu cepat dan heboh. Belum lagi kalau ada yang bertanya-tanya bagaimana proses kejadiannya. “Hell, gue aja nyoba buat ngelupain kok malah temen gue sendiri yang ngorek-ngorek biar gua cerita detail.” Karen kesal sekali. Bagaimana tidak, kematian ayah Karen tidak wajar dan itu adalah yang tersuram bagi Karen. Move on dari peristiwa itu sama saja seperti susahnya move on dari mantan. Semuanya butuh waktu.
     Karen sudah menduga, setelah ini pasti ia akan diburu-buru untuk pergi ke rumah sakit menemui ibu dan adiknya. Berjam-jam melewati kelokan indah Pulau Sumatera yang menawan, senyum tipis Karen dibuatnya. Tapi sayang, situasi sedang tidak mendukung keindahan alam itu. Sampailah Karen di rumah sakit. Putih dan hanya putih pemandangannya. Mulai dari seprei kasur, cat dinding, perban, lantai, dan lampu khas rumah sakit.
     Tidur di lantai hanya beralaskan sajadah itu sudah menjadi kebiasaan bagi Karen. Mau tidak mau ia harus menerimanya. Tidak ada extra bed yang nyaman di rumah sakit. Bisa tidur selama 3 jam sehari rasanya sudah sangat bersyukur. Walaupun tidak senyenyak tidur di Grand Hyatt Jakarta, sih. Tapi Karen percaya, semua ada hikmahnya. Ia tetap bersabar sampai saatnya ia mendapatkan tiket perjalanan menuju pulang ke Jakarta.
***
     “Kak, ayo bangun siap-siap kita mau pergi.” Ujar mama.
     “Masih ngantuk ma. Besok aja…” Karen melanjutkan tidurnya.
     “Ih, ayo bangun sudah ditunggu papa itu di mobil!”
     “Hoamm, bentar ma, baru juga bangun.”
     “Mimpi apa kamu Karen? Nyenyak banget tidurnya. Sampe basah juga itu mata kamu.”
     “Mimpi apa ya?”
     “Mimpi buruk, kah?” Tukas mama seolah ia tau segalanya.
     “Iya, kali, ya? Udah lupa, ma.”
     “Ya sudah, cepat siap-siap. Mama tunggu dimobil ya.”
     “Siap.”
    

“Jadi semua itu mimpi? Haha, mimpi yang indah. Membuatku kapok untuk melawan orang tua ku.”                 –Karen

Claresta Pirena Gandana – XI IPA 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar