Malam
memang cocok untuk dipandang. Ditemani bulan yang datang dengan sinarnya. Malam
seakan indah di pikiranku. Para bintang yang menyambutku hangat. Tapi itu hanya
di pikiranku. Sebenarnya, dunia itu gelap. Tapi kata orang, dunia itu indah.
Tapi aku tidak bisa merasakannya. Oh, aku tahu kalau aku buta. Buta total dari
lahir. Aku terkejut ternyata aku prematur. Bola mataku belum terbentuk. Namun
aku sudah keluar. Tuhan itu ajaib. Bisa melakukan apapun. Nama panggilanku Ayi,
plesetan dari kata “eye”, karena aku
ingin punya mata. Tapi aku sudah bersyukur masih diberi kehidupan. Renungan
malam penuh kehangatan dan ketenangan pun membuat aku bermain dengan mimpiku
sampai matahari membangunkanku.
***
Malam
pun pulang dan datanglah pagi yang cerah. Kurasakan tanamanku yang basah
terkena tangisan awan di malam hari dari jendela kamarku. Kusambut pagi dengan
wajahku yang melukis senyumku. Tidak lupa ibu yang selalu memberikan kecupan,
lambang kasih sayang. Ia yang selalu memberikan dukungan padaku apapun yang
terjadi. Tidak hanya ibu, ayah pun sama. Ia juga selalu sayang padaku. Banting
tulang demi sekolahku. Aku dulu aku dimasukkan di Sekolah Luar Biasa. Atau jika
disingkat menjadi SLB. Orang tuaku tidak mampu membayarkan home schooling. Jadi lebih baik SLB.
Di
akhir pekan ini, aku bersemangat untuk berjualan gorengan, kue basah, dan nasi
uduk bersama ibuku di jalan besar. Lebih tepatnya di depan gerbang desaku.
Katanya, nasi uduk ibuku memang enak dan murah. Aku juga merasakan hal yang
sama. Sepertinya karena aku tahu ibuku membuatnya dengan cinta. Bukan karena
uang ataupun keuntungan.
“Hei,
Buta! Cepat layani aku nasi uduk dua dengan pisang gorengnya lima ribu!”
perintah Heni tetanggaku.
Rasanya
aku ingin marah, tetapi tidak bisa berkata. Apalagi memukul. Yang ada pasti
meleset karena aku tidak bisa melihat. Ibuku mengelus rambutku lalu melayani
Heni. Konon Heni adalah anak orang paling kaya di desa. Sikapnya suka
semena-mena. Begitulah ibuku bercerita.
Aku
pun memasukkan pesanan Heni ke dalam kantung plastik. Tidak disengaja, aku
menjatuhkan nasi 1 bungkus nasi uduk yang belum diikat dengan karet. Alhasil nasi
uduk itu terbuang sia-sia.
“Dasar
kamu ini bodoh! Sudah buta, ceroboh! Mau jadi apa nanti di masa depan!
Memangnya uang bisa tumbuh dari pohon! Sudahlah aku pesan ini saja! Aku tidak
mau bayar!” bentak Heni sambil mengambil pesanannya tanpa 1 nasi uduk lalu
pergi ke rumah.
“Bu,
Aku minta maaf sudah ceroboh. Kita jadi rugi lima belas ribu. Andai saja tadi
aku hati-hati. Kita pasti tidak rugi.” aku pun menitikkan air mata di depan
ibuku.
“Sudahlah,
Ayi. Ini ujian dari Allah. Kalau Allah berkehendak, pasti akan terjadi. Jangan
menyalahkan dirimu atau siapapun. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu harus tetap
tabah dan semangat! Ayi pasti bisa!” ibu pun memeluk dan menghapus air mataku.
Hanya
ibu yang dapat memulihkan tenaga dan semangatku. Kata-kata ibuku seakan menjadi
lampu yang bersinar dalam kegelapan. Belaian ibu seakan memelukku hangat.
Karena ibuku, semangatku pun membakar sampai akhirnya daganganku habis. Memang
rejeki tidak akan kemana jika Allah sudah memilih. Ibuku mengayuh sepeda dengan
sekuat tenaganya untuk pulang. Sampai di rumah, ayahku belun pulang dari kebun
ayahnya Heni. Maka dari itu keluarga kami agak takut dengan Heni. Dulu saat
masih duduk di Sekolah Dasar, saat main bersama teman satu desa, aku tidak
sengaja mematahkan kaki boneka Barbie
milik Heni. Ayahku dimarahi oleh ayah Heni. Saat duduk di Sekolah Menengah
Pertama, aku diajak untuk ke rumah Heni, ternyata ia mau menunjukkan sepatu dan
kuteksnya. Karena aku penasaran, aku pegang kuteksnya. Kejadian tidak
diinginkan pun terjadi. Kutek Heni seakan lompat dari tanganku dan jatuh pecah.
Cairannya mengenai sepatu baru Heni. Saat itu, sepatunya berwarna putih dan
katanya sangat mahal. Keluarga kami disuruh mengganti sepatu Heni. Dengan
keberatan, orang tuaku tetap saja bayar.
Sejak
saat itulah Heni bahkan tidak pernah berbaik hati padaku. Ia menghasut
teman-teman satu desaku agar menjauhiku. Di desa ini aku tidak punya teman.
Satu pun tidak ada. Gosip itu juga menyebar di sekolahku saat SMP. Walaupun
kumpulan orang yang kekurangan fisik, tetap saja aku tidak punya teman. Bahkan
yang sama sama buta pun tidak ingin berteman denganku. Untung ibuku ada seakan
ia turun dari surga dan sayapnya berubah menjadi cinta dan kasih sayang.
***
Di
SMA ini, aku ingin berubah agar tidak ceroboh lagi. Tidak ada salahnya mencoba
dan berusaha. Aku sekolah di perkotaan. Setiap pagi, ayahku akan mengantarku ke
sekolah, dan ayahku kembali lagi ke desa untuk berkerja di kebun Heni.
“Nak,
kamu sekolah yang rajin ya. Ayah yakin Ayi bisa. Cari teman sebanyak mungkin
agar bisa membantu kamu.” ucap ayah mencium keningku lalu kembali ke desa.
Di
kelas baru ini, memang sangat bersih dan wangi. Aku tidak tahu siapa orang yang
duduk di sampingku. Tapi ia menyapaku dengan sangat akrab.
“Hai,
Kawan!” sapanya sambil menepuk pundakku.
“Ah,
halo juga! Maaf Aku tidak dapat melihat bola matamu. Tapi Aku yakin kamu punya
mata yang sangat indah.” Senyumku padanya sambil menolehkan kepalaku ke
arahnya.
“Ah
maaf atas kekuranganmu, Aku mengerti.”
“Terima
kasih telah mengerti. Sepertinya kamu sangat lembut padaku.”
“Sebenarnya
Aku tidak kenal siapapun disini, jadi Aku harus punya teman agar Aku tidak
sendirian. Aku Isabella. Panggil saja aku Isa.”
“Aku
Rayina. Panggil saja aku Ayi. Apa kamu dari kota lain? SLB jarang ditemukan. Hanya
ada di beberapa tempat. Aku kenal beberapa orang disini.”
“Aku
dari kota ini, tapi Aku baru masuk SLB. Sebelumnya aku sekolah biasa.”
“Menagapa
bisa seperti itu? Apa kamu mau cerita padaku?”
“Sebenarnya
Aku kehilangan kedua kakiku. Aku kecelakaan dan diamputasi. Ini terjadi setelah
ujian-ujian yang kita lalui saat kelas Sembilan SMP berakhir. Sopirku menabrak
truk saat di jalan tol. Dimana pada saat itu ingin mengantarku ke mall bertemu dengan teman-temanku.
Sopirku meninggal di tempat. Tetapi Allah masih memberiku satu kesempatan
dengan syarat kakiku diambil. Begitulah ceritaku.”
“Ya
ampun, aku minta maaf. Seharusnya Aku tidak tanya.”
“Tidak
apa-apa asal kita teman.”
“Terima
kasih telah menganggapku teman. Sudah lama Aku tidak berbicara selama ini
dengan orang yang sebaya. Aku selalu dihina.”
Kami
mengobrol cukup lama. Hingga akhirnya bel masuk berbunyi. Aku sangat senang
memiliki seorang teman. Itu membuat hatiku berbunga-bunga. Rasanya aku ingin
bercerita banyak tentangnya pada ibuku. Ibu pasti akan senang melihat putrinya
senang di sekolah baru. Tak terasa, jam pulang telah datang. Kami pun berjalan
menuju depan sekolah. Seseorang pun menghampiri kami.
“Sore,
Nona. Mari kuantar pulang.” Kata seorang bapak yang berbicara pada Isa.
“Nanti
deh pak. Ini temanku, Ayi. Dia belum dijemput oleh Ayahnya.” jawab Isa lembut.
“Isa
kamu duluan saja. Ayahku biasanya lama menjemput.” jawabku agar Isa segera
pulang dengan sopirnya yang mungkin sudah lama menunggu.
“Kalau
begitu pulang saja denganku.”
“Apa
sopirmu mau?”
“Sopirku
memang tugasnya mengantarku. Mari pulang denganku.”
“Baiklah.”
Obrolan
hangat menambah suasana ketenagan dalam mobil Isa. Dia memang kaya. Bahkan aku
bisa menganggapnya sangat kaya. Tapi aku tidak memandang hal itu. Dia itu baik dan
sangat dapat dipercaya. Yah, Orang tuanya saja keduanya dokter spesialis.
Ayahnya dokter bedah, ibunya dokter mata. Pantas saja kaya. Sesampainya di
rumahku, ia juga tidak mengomentari rumahku. Bertanya “Ini rumahmu?” saja
tidak. Apalagi berkomentar. Hanya sopirnya saja yang bertanya agar kami tidak
salah rumah. Aku pun turun dan berterima kasih. Mereka pun pulang ke rumahnya.
“Akhirnya
punya teman juga ya?” datanglah Heni, mimpi burukku.
“Hai,
Heni. Kamu sekolah dimana?” tanyaku yang tidak tahu harus apa.
“Ya
aku sekolah di sekolah orang-orang kaya! Memang kamu. Miskin! Tapi tadi siapa?
Mobilnya mahal itu. Bahkan melebihi harga mobilku.”
“Dia
Isa temanku”
“Cari
yang kaya ya biar bisa kamu ambil uangnya?”
“Ya
ampun! Jaga omongan kamu. Aku saja tidak bisa lihat. Untuk apa aku berbuat
seperti itu! Maaf aku harus pergi!”
Aku
pun masuk ke rumahku. Mengerikan memang punya mimpi buruk seperti Heni. Dimana
mana selalu saja ada. Aku juga menyuruh ibu menghubungi ayah kalau aku sudah
pulang. Setelah itu aku bercerita tentang Isa sampai akhirnya, sang kepala
keluarga pun datang membawa singkong dengan keringat yang berkucuran.
“Ayi,
apa kamu memukul Heni dengan tongkatmu? Ayahnya tadi memarahi Ayah kalau kamu
memukul Heni dengan kencang sampai Heni jatuh.” omongan ayah pun membuat aku
terdiam sejenak.
“Ya
Allah! Itu fitnah. Ayah jangan percaya. Mana mungkin Aku memukul Heni tanpa
melihat.” jawabku dengan keringat dingin.
“Kamu
jangan berbuat perbuatan keji. Ayah bisa dipecat. Nanti penghasilan berkurang
gara-gara ini.”
“Maaf,
Ayah. Aku berusaha untuk jujur padamu.”
Aku
pun pergi ke kamar. Rasanya aku ingin tidur saja sampai pagi tiba dan bertemu
dengan Isa. Sore dan maghrib pun lewat, sampai akhirnya malam menyapa.
Kuhabiskan malam yang terang bulan ini dengan tidur yang pulas sampai pagi
datang. Tapi mungkin bagiku, pagi tidak akan datang. Aku tidak pernah merasakan
kecerahan. Selalu gelap. Hitam lagi dan lagi. Tapi aku bersyukur masih diberi
kehidupan. Mentari pun datang memelukku hangat. Saking hangatnya, mentari tak
mau membangunkanku. Malaikat yang sayapnya patah pun membangunkanku.
“Ayi
ayo bangun! Tumben sekali kamu kesiangan!” ibu pun membangunkanku.
Aku
bergegas mandi dan menunaikan sholat subuh. Saat sarapan, suara mesin datang
mengahmpiri rumahku. Tak disangka, itu adalah Isa. Isa datang menjemput dengan
alasan “Aku takut sendirian di sekolah karena ini terlalu pagi”. Aneh. Aku saja
bangun kesiangan. Jam 6.25 baru saja sarapan. Memang sifatnya menggemaskan
sekali. Aku berangkat ke sekolah bersama Isa. Di sekolah sudah ramai. Saatnya
bel masuk pun tiba.
***
Hampir
6 bulan aku belajar di sekolah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Biasanya
aku yang menunggu waktu sampai lulus sekolah agar tidak diejek. Mungkin karena
sekarang aku punya Isa. Ujian akhir semester pun seminggu lagi datang. Isa
memohon padaku untuk belajar bersama di rumahnya. Belakangan ini, nilai ulangan
ulangannya banyak yang dibawah 70 dan harus perbaikan nilai. Pulang sekolah,
aku berkunjung ke rumahnya bermasa ibuku juga agar dapat membantu juga. Aku
baru pertama kali merasakan Isa benar-benar seserius itu. Ia benar benar ingin
meraih nilai tinggi. Niatnya benar benar besar.
Tetapi,
ada saja kabar buruk. Iri itu bisa membakar apa saja. Seperti api yang memakan
hutan. Tidak puas memakan satu pohon besar. Inginnya makan semua agar dibilang
yang paling hebat. Ialah Heni. Yang pandangannya hanyalah material. Aku jadi
merasa lebih baik buta total hanya bisa melihat gelap daripada memiliki mata
tetapi dibutakan oleh materi. Hanya bisa melihat kekayaan. Orang miskin baginya
tidak ada apa-apanya. Seperti tidak ada hak untuk hidup. Ia tak suka aku
bermain dengan Isa yang kekayaannya bahkan dua kali lebih kaya dari Heni. Tapi
hatinya tidaklah sama. Kadang-kadang Isa menjemput atau mengantarku pulang
dengan mobil yang berbeda-beda. Aku tidak tahu itu. Tapi tidak tahu kenapa,
Heni marah. Memang ya, syirik itu berbahaya.
***
Waktu berlalu. Masa belajar habis. Ujian
juga sudah selesai. Semua murid hanya menunggu hari pembagian rapot. Dimana semua
nilai akademik dan sikap dinilai selama satu semester. Satu hari sebelum
pembagian rapot, ibuku menyuruhku membeli garam di warung. Saat aku pergi ke
warung, disana ada Heni yang duduk di bangku seberang warung yang tepatnya di
bawah pohon mangga.
“Gaya
ya yang sudah main sama orang kaya” ucap Heni yang menyayat hati.
“Mungkin
temannya berteman gara-gara buta mungkin! Tidak mungkin kan ada orang yang
ingin main dengan yang buta ditambah bodoh pula” sambar Rita menambah hancur
hatiku.
Aku
yang tidak punya kekuatan apapun bisa apa. Aku hanya diam dan membeli jeruk
nipis di sebuah warung yang berada di rumah. Jadi pemiliknya hanya melayani
saat ada pelanggan yang memanggil ingin membeli sesuatu, lalu melanjutkan
aktifitas yang sedang ia lakukan di rumah. Setelah membeli, Heni mengambil
jeruk nipis itu lalu sengaja menginjaknya.
“Aduh
maaf terinjak ya. Hancur deh” tawanya pun lepas.
Aku
merasa ada yang memasukkan sesuatu pada saku yang ada di rok sebelah kiriku. Ah
mungkin hanya perasaan. Aku pun mengambil jeruk nipisnya dan pergi ke rumah.
Aku pun cerita lagi dan lagi pada ibuku. Ibuku juga sama memberiku jawaban yang
tiada beda dengan sebelumnya “sabar ya, Nak. Biarkan saja”. Sore pun tiba,
ayahku pulang langsung datang memarahiku.
“Ayi!
Mengapa kamu berulah lagi dan lagi! Sudah Ayah bilang, jangan dekat dekat
dengan Heni!” bentak ayah.
“Ayi
tidak melakukan apapun, Ayah! Ayi hanya membeli jeruk nipis” jelasku.
“Lalu
kau merampas uang Heni dan menempelkan jeruk nipis pada Heni! Jujurlah!”
“Ya
ampun, Ayah, sudahlah” dukung ibu.
“Ibu
ini hanya membela Ayi! Sebentar lagi keluarganya kesini marah-marah pada kita!”
ayahku pun mulai setres.
Benar
kata ayah. Keluarga Heni pun datang. Mereka marah-marah pada keluarga kami.
Heni berbicara seakan-akan itu benar. Air mataku pun terjatuh. Hatiku
benar-benar menjadi serpihan beling yang jatuh. Aku tahu mencuri itu salah.
Untuk apa aku mencuri benda yang tidak bisa aku lihat. Apalagi menempelkan
jeruk nipis pada mata Heni. Aku saja tidak tahu tingginya setinggi apa. Heni
pun beralasan dengan bukti yang ada.
“Lihatlah!
Jeruk nipis yang dibelinya rusak! Ayi merusaknya dan menempelkan pada mataku!
Untung saat itu ada Rita yang langsung mengambilkan air. Kalau tidak, apa
nasibku! Dan uang yang Papah beri untuk Heni membeli tas diambil Ayi! Aku
melihatnya menaruhnya di saku bawahan yang ia pakai tadi!”
Yap!
Jeruk nipis rusak akibat Heni. Tapi Heni menyalahkan aku. Di dalam saku itu,
terdapat uang lima ratus ribu rupiah. Uang sebanyak itu untuk apa aku
mencurinya. Aku tidak tahu nominalnya berapa saat tidak diberi tahu. Alasan
apapun tidak dapat menjadi belaan. Sampai-sampai malaikatku terjebak dalam
fitnahan Heni. Aku benar-benar menangis. Aku tidak kuat menerima kenyataan.
Pahit sekali! Hanya Allah yang aku punya saat itu. Namun Allah berkehendak
memberi cobaan berat.
Setelah
berapa lama dibentak, dimarahi, dan dihina, akhirnya aku mengira sudah sampai
saja disitu. Ternyata ada tambahan lagi. Yang membuat kesabaranku habis. Ayahku
dipecat dari perkebunan teh ayah Heni! Setelah itu mereka langsung pergi.
Padahal, kebun itu sangat luas. Jadi, gajinya juga lumayan banyak dan bagi
keluarga kami, hasil itu sudah mencukupi. Saat mendengar itu, aku menangis
lagi, bedanya yang ini benar benar lebih sedih. Aku begini saja sudah benar-benar
sedih. Ditambah ibuku yang menangis lebih sedih dari aku. Aku jadi benar-benar
sedih. Ayahku marah dicampur sedih. Ia pergi ke kamarnya. Ibuku pun
membuntutinya. Aku merasa tidak berguna. Heni punya bukti kuat untuk memfitnah.
Sampai sampai aku tidak tahu harus apa. Setelah itu, aku hanya melakukan sholat
dan larut dalam lamunan. Aku juga melewatkan makan malam. Aku hanya bilang, aku
tidak lapar. Ibuku hanya mengangguk saja. Dan aku tertidur.
***
Malam
itu, tidurku tidak nyenyak. Kulihat kantung mataku bengkak karena menangis. Aku
benar benar masih pusing. Aku terkena demam ringan. Pagi itu, ayahku langsung
wara wiri mencari pekerjaan. Sedangkan ibuku ke sekolahku untuk mengambil
rapot. Aku tidak ikut dikarenakan memang murid tidak wajib ikut. Detik pun
berganti menjadi menit. Setengah jam berlalu, tiba-tiba ada orang yang menelpon
dari telepon rumah. Seorang pria tidak dikenal yang berada di suatu tempat.
“Apakah
ini keluarga dari Ibu Jeni?” katanya dengan nafas yang terburu-buruk.
“Ya,
Aku anaknya, Ayi. Ada apa ya, Pak?” tanyaku cemas.
“Ibu
Jeni dimasukkan ke rumah sakit! Ia terserempet kereta yang sedang melaju! Ia
berjalan sambil memikirkan sesuatu yang tampaknya sangat beban. Sudah
diteriaki, tetap saja tidak menoleh. Warga juga telat menyelamatkan karena
banyak yang tidak sadar”
Telepon
terjatuh dari genggamanku. Diriku benar-benar terkejut mendengar berita itu.
Suara mesin mobil terdengar lagi yang asalnya dari depan rumah. Ya! Isa datang.
Iya langsung masuk dan berteriak gembira.
“Ayi!
Rapotku nilainya luar biasa! Besar sekali berkat kamu! Aku juga mendapat
peringkat ke tujuh! Ya, walaupun Kamu ketiga, lebih besar dariku, tetap saja
Aku senang!” seru Isa semangat.
Namun,
semangatnya hilang saat melihat air mataku jatuh. Isa langsung bertanya-tanya
kepadaku apa yang terjadi. Kuceritakan dari kejadian kemarin sampai aku piatu.
Setelah itu, Isa langsung mencari nomor ayahku dari sebuah buku yang berada di
samping telepon rumah. Mungkin itu buku telepon. Tak lama, ayahku datang dan
terkejut mendengar berita itu. Kami pun segera pergi ke rumah sakit untuk
melihat ibu.
Beberapa
jam menunggu di ruang UGD, akhirnya dokter mengijinkan ayahku masuk. Hanya
ayahku. Ibuku hanya memberikan selembar kertas, lalu menghembuskan nafas
terakhirnya dengan mengucap kalimat syahadat. Ayahku lemas menangis. Aku dan
Isa masuk ke ruangan itu, dan aku juga menangis. Allah benar-benar memanggil
malaikatku untuk kembali lagi ke surga meninggalkanku. Cobaan ini benar-benar
paling berat. Orang tua Isa datang ke UGD. Ternyata ayahnya adalah dokter bedah
dan ibunya dokter mata di rumah sakit itu. Mereka pasangan dokter yang serasi.
Aku
pun melihat selembar kertas yang dipegang ayah dari ibu. Ternyata, ibu
mewariskan mata indahnya padaku. Aku terhibur sedikit.
“Untuk
apa mata jika kita tidak bisa melakukan apapun pada mata Ibu. Aku ingin Ibu”
ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
“Saya
bisa bantu Kamu. Kamu yang membantu Isa sampai nilainya naik pesat kan?” senyum
ayah Isa mengelus kepalaku.
“Tapi
itulah teman. Saya hanya bantu Isa seperti itu saja” jawabku heran.
“Saya
ini dokter bedah. Saya siap melakukan pembedahan padamu dan ibumu. Tidak perlu
bayar, kamu sudah berbuat banyak”
Aku
senang bukan kepalang. Aku berterima kasih banyak kepada Allah dan juga pada
keluarga Isa yang telah membantuku. Hari ini adalah hari duka terbesarku dengan
seikit bumbu bahagia.
***
Setelah
mendapat sepasang mata indah ibuku, aku benar-benar bisa melihat. Duniaku
sekarang cerah seperti yang lain. Esoknya ibuku akan selamanya dibawah tanah.
Sentuhan rumput di pemakaman ibu terasa agak kasar. Warnanya hijau cerah. Pohon
pohon besar menutupi banyak pemakaman. Bunga kamboja berjatuhan dengan lembut
bersama dengan angin. Tak terasa aku tak melihat ibuku untuk selamanya.
Di
malam setelah pemakaman ibuku, aku berjalan-jalan keluar bersama ayahku
menikmati indahnya malam. Banyak orang yang ingin merasakan itu juga. Aku pun
tahu diatas ada bulan.
“Ayah!
Lihatlah bulan itu! Dia mengikuti kita!” seruku melihat ke atas.
Ayahku
tertawa. Dan orang-orang memandang aneh. Salah satunya berbicara pada ayahku.
“Pak,
sebaiknya anak Bapak dibawa ke rumah sakit. Mungkin dia gila. Padahal usianya
sudah sebesar ini.” Kata seorang pria yang usianya sudah 30 tahunan.
“Kemarin
kami baru saja ke rumah sakit. Ibunya telah meninggalkannya untuk selamanya.
Dan dia mendapatkan sepasang bola mata dari Ibunya. Dari lahir, baru
sekaranglah dia melihat indahnya dunia.”
(Karya: Ukhti Ayuningtyas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar