Walaupun hujan tak bisa berkata,, tapi aku selalu
ingin bercerita tentang dirimu kepadanya.
***
Aku mengeratkan tali sepatuku terlebih
dahulu. Setelah itu, langkah-langkah kecil menari-nari di atas rintikan air
hujan yang mengguyur bumi. Bersenandung ria bagai dunia hanya milik diriku
sendiri. Aku selalu melakukan ini di setiap hujan turun, alasannya satu: karena
aku suka hujan. Dan aku tidak peduli jika banyak orang yang mengatakan ‘jangan
hujan-hujanan, nanti sakit’.Pikirku itu terjadi karena mereka menyakininya,
buktinya saja aku hingga sekarang aku tidak sakit hanya karena bermain air
hujan. Dan ibuku tidak pernah melarang aku.
Kakiku masih bermain dengan air hujan, tapi
mataku sejak tadi selalu memerhatikan seseorang yang menimbulkan rasa aneh saat
melihatnya. Dia seorang laki-laki yang berpayung. Aku selalu melihatnya di
taman ketika hujan turun, aku tak tahu apa yang di lakukannya. Tetapi aku hanya
melihatnya duduk diam di tengah air hujan dengan di lindungi payung yang
menemaninya.
Beberapa kali rasa penasaranku mendorongku
untuk bertanya kepadanya apa yang ia lakukan dengan berduduk diam sendiri,
tetapi niatku aku urung kembali karena egoku yang terlalu besar untuk
menanyakan itu. Dan aku yakin jika ia sama sekali tak mengenalku, walaupun
sudah sangat sering kami berada di tempat yang sama dengan posisi yang tidak
terlalu jauh karena aku selalu melihatnya menunduk dan melamun.
Hujan sudah reda. Aku duduk sebentar dan
aku melihat ia beranjak pergi. Dan itu membuat rasa penasaranku semakin besar.
Aku menatap langit yang sedikit terlihat cerah, tetapi aku tidak suka saat
melihat pelangi yang banyak orang bilang itu indah. Alasanku karena pelangi
hanya memberikan warna yang hanya sesaat yang tak bisa di lihat lagi, ia indah
lalu pergi dan hilang. Ini adalah pendapatan ku, jadi jika kalian mempunyai
pendapat yang berbeda itu hak kalian.Setelah itu, aku pun beranjak pergi untuk
melanjutkan kegiatanku kembali.
***
Aku menadahkan satu tanganku yang langsung
di terpa air hujan. Untuk saat ini aku tidak boleh hujan-hujanan, karena ibuku
berkata, “Kamu boleh main air hujan, tapi setelah acara selesai”. Maksud dari
acara itu adalah pernikahan kakak keduaku.Semua keluarga sudah pergi terlebih
dahulu, sedangkan aku harus pergi sendiri karena aku ingin membeli kado
terlebih dahulu untuk kakakku. Dan bodohnya aku memarkirkan mobilku jauh dari tempat
yang kini aku pijak. Kini aku bingung bagaimana aku berjalan menuju mobilku.
Setelah berdebat fikiran dan hatiku, akhirnya aku putuskan untuk menerobos
hujan dan aku akan jelaskan kepada ibuku agar beliau tak marah kepadaku. Baru
saja selangkah maju, tetapi anehnya aku tak merasakan air hujan yang menerpa
tubuhku.
Mataku terpana ketika melihat seseorang
yang kini berada di sampingku sambil melindungiku dengan payungnya. Dia
laki-laki berpayung yang berada di taman itu. “Mau saya antar ?”. Tanyanya. Suaranya
sangat berwibawa, membuat tubuhku terpaku apalagi dengan jarak kami yang sangat
tipis.
Aku hanya mengangguk. Lalu kamipun
melangkahkan kaki kami di bawah air hujan yang kini semakin deras. Di karenakan
payung yang tidak cukup untuk tubuh kami berdua, aku merasakan air hujan
mengenai setengah pundakku yang membuat baju yang menutupi lengan dan pundakku
pun basah. Tetapi, aku hanya diam saja.Tiba-tiba, ia menggeserkan payungnya
sehingga pundakku tak terkena air hujan. Tetapi aku yakin jika pundaknya lah
yang berganti menjadi basah. Aku merasakan debar jantungku yang kencang,
rasanya jalanan menjadi sangat jauh dan lama saat bersamanya seperti ini.
Akhirnya aku bisa bernafas lega saat aku
sudah berada dalam mobil.
“Terima kasih”. Ucapku kepadanya, sungguh
mengatakan itu saja aku harus mengatur detak jantungku terlebih dahulu.
Ia hanya tersenyum sangat manis.
***
Setelah acara selesai. Hujan masih setia
menungguku untuk bermain dengannya. Seperti biasa, aku akan mengunjungi taman
kesukaanku ketika hujan. Aku menyapu seluruh penjuru taman ini. Tetapi aku sama
sekali tak melihat laki-laki berpayung itu. Padahal, aku yakin jika aku selalu
melihatnya di sini ketika hujan turun.
Dan aku hanya berpikir jika ia ada suatu
urusan yang sangat penting. Jadi aku putuskan untuk tetap bermain air hujan,
walaupun sesekali aku merasa ada sesuatu hal yang berbeda.
***
Sudah satu bulan, aku tak pernah melihatnya
di taman ketika hujan. Aku benar-benar merindukannya, apalagi terakhir kalinya
aku melihat senyuman manisnya. Aku tidak tahu dimana ia berada dan aku tidak
tahu bagaimana aku harus mencarinya. Ia hilang, bagai di tiup angin. Aku sadar
jika aku tak mengenalinya, tapi entah kenapa aku sangat kehilangannya.
Hujan turun menerpa wajahku. Aku tidak
tahu, saat ini aku tak bisa menari-nari di bawah hujan. Aku hanya duduk diam,
sambil memerhatikan tempat tak jauh dariku yang dulu selalu ia duduki. Aku
sangat berharap jika ia muncul di sana, walaupun aku tak pernah mengobrol
panjang dengannya tapi cukup melihatnya saja aku sudah bahagia.
Aku benar-benar penasaran dengan dirinya.
Dan aku pun beranjak dari tempatku menuju tempat yang dulu ia selalu duduk
dengan di temani payungnya.
Kini aku duduk di tempatnya. Aku meresapi,
mengulang kembali saat ia masih duduk di sini. Aku sangat merindukannya.
Dirinya yang penuh dengan rahasia, dirinya yang selalu dengan payungnya,
dirinya yang selalu termenung dan semuanya.
Ketika aku ingin beranjak, tiba-tiba aku
merasakan sesuatu pada tanganku yang sedikit menekan kursi kayu ini saat aku
ingin berdiri. Aku melihat sebuah ukiran.
Pohon beringin
Sejenak aku terdiam dengan yang di maksud
ukiran ini. Hingga akhirnya aku mengingat pohon beringin yang berada di taman
ini. Dengan segera aku melangkah ke tempat pohon beringin.
Aku mengelilingi pohon beringin, mencari
sesuatu yang akan menunjukkan maksud dari ukiran tadi. Tetapi aku sama sekali
tak melihat apapun, hingga akhirnya aku menyenderkan tubuhku ke pohon beringin.
Tiba-tiba kepalaku merasakan sesuatu yang menganjal.
Batu ?
Rasanya aneh saat melihat batu yang di
selipkan di tengah pohon beringin. Lagi-lagi aku berpikir. Dan aku pun berlari
menuju tepat yang ku yakini.
Aku tiba di batu besar yang berada tak jauh
dari pohon beringin tadi. Aku mengelap batu itu dengan tanganku saat melihat
sesuatu. Dan di situ ada sebuah ukiran yang menggambarkan sebuah payung yang
membuatku semakin tak mengerti. Langkahku pun mencari petunjuk itu.
Pandanganku menyapu di setiap inci tempat
ini, aku yakin jika yang di maksud petunjuk itu tidak jauh dari tempat batu itu
berada. Aku benar-benar lelah memikirkannya, tetapi rasa penasaranku
mendorongku untuk mencarinya. Hujan masih turun, walaupun tak deras hanya
rintikan kecil. Aku mendongakkan kepalaku ke atas langit, aku menutup mataku
untuk merasakan setiap butiran hujan yang jatuh mengenai wajahku. Hingga
sesuatu terbesit dalam pikiranku.
Payung ?.. Pohon beringin ?
Dengan segera aku berlari. Aku yakin dengan
pikiranku, yang di maksud payung adalah pohon beringin yang membentuk seperti payung—melindungi
orang dari hujan.
Karena aku yang berlari tergesa-gesa hingga
saat berada di depan pohon beringin, aku merasa sesuatu menyelandung kakiku
hingga aku terjatuh.
Tetapi, tiba-tiba taburan kelopak bunga
berjatuhan dari atas pohon. Aku pun segera berdiri. Mataku memanas saat melihat
puluhan atau ratusan foto dan kertas yang tergantung di pohon itu. Aku melihat
beberapa fotoku yang tak di sadari olehku dan ada juga foto dirinya. Aku
mengambil kertas dan membukanya.
Hujan..
Ia menari-nari indah dalam bayanganmu..
Ia bahagia dalam terpaan butiran air
yang turun dari langit..
Sedangkan aku ?
Hanya diam dalam naungan payung yang
selalu menjadi bayanganku ketika kau turun..
Aku selalu berharap, jika Tuhan
mengizinkanku untuk bermain bersamanya di bawah ribuan butiran air hujan..
Aku ingin tertawa bersamanya, bahagia
bersamanya, mendengar suaranya..
Tapi, aku sadar dengan diriku yang tak
bisa jauh dari naungan payung..
Aku tak bisa menemaninya untuk bermain
bersamamu hujan..
Raka
***
Sudah sebulan lebih ia pergi. Aku tak
pernah tahu jika ia selalu memperhatikanku, aku tak pernah tahu jika ia
mempunyai penyakit yang sangat bahaya. Aku hanya tahu, terakhir aku melihatnya
saat ia melindungiku dari hujan dengan payungnya. Dan aku menyesal, karena
melindungiku, tubuhnya terkena air hujan. Karena diriku, ia nekat untuk melawan
hujan dan melupakan penyakitnya.
Beberapa hari yang lalu, aku berkunjung ke
rumahnya dengan alamat yang ia berikan di pohon beringin itu. Keluarganya
bercerita, semua tentangnya. Penyakitnya kambuh karena ia yang nekat
hujan-hujan dan itu bertepatan setelah ia mengantarkanku.
Aku tak pernah berpikir jika orang yang
dulu selalu membuatku tersenyum ternyata kini telah tiada. Hanya meninggalkan
sebuah cerita yang ia susun di pohon beringin. Aku tidak akan pernah lupa dengan
sosok dirinya yang telah membuat tersenyum.
Dia Raka.
***
Hujan..
Dirinya telah hanyut menjadi sebuah
kenangan indah ..
Dirinya telah terukir abadi dalam buku
sejarah hidupku..
Dirinya telah tergores dengan bentuk
cinta dalam relung hatiku..
Aku..
Selalu bersyukur telah mengenal dia,
walau dalam kejauhan..
Air yang selalu turun, akan selalu
mengingatkanku..Pada lekaki berpayung..
Yang kini telah menjadi air hujanku..
Menghapus air mataku.. Tanpa bisa ku
genggam ..
Reiska
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar